Dari manakah asalnya kebiasaan mengenakan pakaian hitam saat berkabung?
Menurut Wikipedia,
kebiasaan mengenakan pakaian hitam saat berkabung, bisa ditelusuri
asalnya hingga ke masa kekaisaran Romawi. Sedangkan menurut The Widow's Rumble
dari berbagai sumber, kebiasaan mengenakan pakaian hitam saat berkabung
bermula dimasa ratusan tahun silam saat masyarakat masih percaya bahwa
dengan memakai pakaian hitam saat berkabung akan menyamarkan mereka dari
pandangan Kematian, dan menghindarkan mereka dari menjadi target
berikutnya.
Sedangkan menurut ajaran Yahudi dalam berkabung (Shivah), pemakaian pakaian hitam tidaklah diharuskan. Namun anjuran ini terdapat secara tersirat dalam kitab mereka, Talmud. Menurut sumber yang sama, aturan pemakaian warna hitam juga tidak terdapat dalam Injil (cmiiw).
Masyarakat Eropa abad pertengahan pun lebih memilih warna putih untuk pakaian berkabung, seperti yang dipraktikkan di Spanyol hingga akhir abad ke-16.
Jika kita perhatikan (misalnya dari film-film kungfu), masyarakat China dan negara-negara Asia lainnya pun cenderung memilih warna putih sebagai warna berkabung.
Sedangkan menurut ajaran Yahudi dalam berkabung (Shivah), pemakaian pakaian hitam tidaklah diharuskan. Namun anjuran ini terdapat secara tersirat dalam kitab mereka, Talmud. Menurut sumber yang sama, aturan pemakaian warna hitam juga tidak terdapat dalam Injil (cmiiw).
Masyarakat Eropa abad pertengahan pun lebih memilih warna putih untuk pakaian berkabung, seperti yang dipraktikkan di Spanyol hingga akhir abad ke-16.
Jika kita perhatikan (misalnya dari film-film kungfu), masyarakat China dan negara-negara Asia lainnya pun cenderung memilih warna putih sebagai warna berkabung.
Pada dasarnya menggunakan pakaian hitam adalah boleh,
karena Rasulullah pun pernah menggunakan yang berwarna hitam. Hanya
saja, ketika suatu jenis pakaian telah menjadi ciri khas dari golongan
non muslim seperti pakaian hitam ketika melayat orang mati yang ini
adalah kebiasaan golongan Yahudi, maka Imam Ghozali dalam kitab
ihya’-nya menyatakan bahwa hukum memakai pakaian hitam dengan niatan
ini adalah haram karena termasuk tasyabbuh (penyerupaan) dengan gaya
hidup dan pakaian non muslim.
Dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah sallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka." (HR. Abu Dawud )
Namun, menurut pendapat dari Imam ‘Izzuddin bin Abdussalam dan Imam Romli adalah boleh dikarenakan pakaian hitam diperbolehkan oleh syari’at, kecuali jika dalam memakai pakaian hitam dimaksudkan untuk menyerupai orang-orang bukan golongan Islam (kafir), maka diharamkan. Pandangan Imam ‘Izzuddin bin Abdussalam, tasyabbuh(penyerupaan) yang dilarang oleh syari’at adalah penyerupaan dengan orang kafir dalam hal yang bertentangan dengan ajaran Islam dan bukanlah pada perkara yang sunnah, wajib atau mubah (boleh).
Tidak semua tradisi sejalan dengan tuntunan syariah. Hal ini bisa
karena keberadaan tradisi yang mendahului syari’ah dan belum ada usaha
pelurusan terhadapnya, seperti tradisi tumbal dan sesajen. Atau bisa
juga tradisi tidak sejalan dengan syariah karena kehadirannya sebagai
entitas baru hasil dari keterpengaruhan berbagai kebudayaan seperti
halnya kebiasaan berbaju hitam ketika berta’ziyah.
Kebanyakan masyarakat kota selalu menggunakan berbusana hitam ketika
melayat sanak saudara yang terkena musibah. Hal ini mereka lakukan
dengan tujuan menunjukkan rasa belasungkawa. Warna hitam dalam konteks
kematian bermakna kesusahan. Hanya saja disayangkan pemahaman ini seolah
berubah menjadi sebuah aturan tak tertulis bahwa barang siapa
berta’ziyah harus memakai busana serba hitam. Padahal yang demikian ini
kurang sesuai dengan tuntunan syariah.
Dalam syariah wacana mengenai belasungkawa bagi keluarga yang ditinggal mati disebut dengan istilah hidad.
yaitu batasan-batasan tertentu yang harus dipatuhi oleh mereka yang
ditinggal mati sebagai tanda berduka. Diantaranya adalah tatacara
berbusana bagi mereka yang ditinggalkan baik keluarga atupun kerabat
dekat yang berta'ziyah.
Mengenai busana warna hitam yang sering dipakai oleh seseorang ketika
melayat sebenarnya telah diatur dalam Islam. Menggunakan warna hitam
untuk menunjukkan mebelasungkawa hanya boleh dilakukan oleh suami atau
istri yang ditinggal mati.
Sedangkan untuk orang lain, meskipun keluarga hukumnya makruh tahrim, bahkan sebagian ulama mengatakan haram. Dengan alasan dikhawatirkan penggunaan baju hitam itu menunjukkan seseorang tidak ridha dengan kematiannya yang sama juga maknanya dengan tidak menerima keputusan Allah swt. Atau bisa jadi warna hitam malah menunjukkan kemewahan tersendiri, sehingga memakai gaun hitam tidak untuk berbela sungkawa namun untuk berhias diri (mungkin karena mahalnya gaun hitam, atau hitam telah menjadi trend tersendiri).
Sedangkan untuk orang lain, meskipun keluarga hukumnya makruh tahrim, bahkan sebagian ulama mengatakan haram. Dengan alasan dikhawatirkan penggunaan baju hitam itu menunjukkan seseorang tidak ridha dengan kematiannya yang sama juga maknanya dengan tidak menerima keputusan Allah swt. Atau bisa jadi warna hitam malah menunjukkan kemewahan tersendiri, sehingga memakai gaun hitam tidak untuk berbela sungkawa namun untuk berhias diri (mungkin karena mahalnya gaun hitam, atau hitam telah menjadi trend tersendiri).
Dengan demikian, sebenarnya hukum memakai gaun hitam ketika
berta’ziyah dikembalikan kepada niat pemakainya. Sejauh tidak diniatkan
untuk menunjukkan kemewahan atau ketidak-ridhaan taqdir Tuhan, maka
hukumnya boleh-boleh saja.
Dan begitu juga sebliknya, yang terpenting adalah tidak menganggap
bahwa pakaian hitam sebuah kewajiban orang berta’ziyah. Dan boleh saja
menggunakan baju berwarna selain hitam untuk ta’ziyah selama niatnya
benar. Begitu keterangan dari al-Mausu’ah alfiqhiyyah juz 21:
لبس السواد فى
الحداد اتفق الفقهاء على انه يجوز للمتوفى عنها زوجـها لبس السواد من
الثياب... ومنع الحنفية لبس السواد فى الحداد على غير الزوج وقال المالكية
ان المحد يجوز لها ان تلبس الأسود الا اذا كانت ناصعة البياض او كان الاسود
زينة قومـها وقال القليوبي من الشافعية اذا كان الاسود عادة قومـها فى
التزين به حرم لبسه ونقل النووي عن الماوردي انه اورد فى "الحاوى" وجـها
يلزمـها السواد فى الحداد. لبس السواد فى التعزية : اتفق الفقهاء على ان
تسويد الوجه حزنا على الميت من أهله او من المعزين لايجوز لما فيه من اظهار
للجزع وعدم الرضا بقضاء الله وعلى السخط من فعله مما ورد النهي عنه فى
الاحاديث وتسويد الثياب للتعزية مكروه للرجال ولابأس به للنساء اماصبغ
الثياب أسود أو أكهب تأسفا على الميت فلايجوز عاى التفصيل السابق
Ulama bersepakat untuk memperbolehkan istri yang ditinggal mati
memakai busana hitam dalam kontkeks ihdad (batasan bagi istri yang
ditinggal mati suami)… ulama madzhab Hanafi melarang pakaian hitam
selain suami/istri yang ditinggal mati. Begitu juga ulama madzhab Maliki
yang memperbolehkan busana hitam bagi istri kecuali jika hitam itu
dianggap mewah bagi masyarakat setempat. Adapun Imam qulyubi seorang
ulama madzhab Syafi’I mengharamkan busana hitam (bagi istri yang
ditinggal mati suami) apabila warna hitam dianggap mewah.
Menurut Imam
Nawawi seperti yang dinukil dari Imam Mawardi dalam kitab ‘Al-Hawi’
tentang pendapat mengenai pakaian hitam dalam kontek ihdad berkata:
berbusana hitam ketika ta’ziyah apabila ditujukan sebagai tanda
belasungkawa bagi peta’ziyah tidak diperbolehkan apabila terbersit niat
penentangan atas taqir Tuhan Yang Maha Kuasa. Hal itu merupakan sesuatu
yang buruk dan dibenci, seperti yang termaktub dalam sebuah hadits Nabi.
Dan memakain hitam bagi seorang laki-laki dalam ta’ziyah hukumnya
makruh.
Alangkah baiknya tidak mengenakan pakaian hitam
ketika melayat walaupun ada pendapat ulama’ yang memperbolehkan memakai
pakaian hitam tersebut dengan pertimbangan keluar dari khilaf ulama’
yang menyatakan haram sekalipun tidak ada niatan untuk menyerupai
orang-orang kafir. Disamping itu, pakaian yang sunnah dan paling disukai
oleh Rasulullah adalah pakaian berwarna putih, bukan pakaian hitam
sumber : http://www.nu.or.id
No comments:
Post a Comment